Wednesday, July 15, 2009

m.p.d_ chapter 1

“Ris, kamu bakal sakit kalau lama-lama duduk di pinggir kolam. Anginnya cukup gede loh,” ucap lembut seorang wanita. Aku menoleh dan menemukan seorang wanita paruh baya sedang tersenyum di sebelahku. Rambutnya yang hitam dan pendek dan bergaya anak muda sangat cocok membingkai wajahnya yang tak lagi terlihat muda. Daster batik yang dikenakannya tampak berwarna aneh karena sinar lampu yang memantul di kolam renang diserap sedemikian hingga. “Masuk yuk,” ajaknya.

“Entar aja deh, Ma. Masih pengen disini,” jawabku sambil memalingkan muka dan kembali memandangi riak-riak air di kolam renang.

“Ya sudah. Mama ke dalam duluan ya. Jangan kemaleman, inget minggu depan kamu ujian nasional,” katanya sambil menepuk kepalaku lembut dan pergi. Aku memandangi sosoknya untuk sementara sebelum kembali memandangi kolam yang monoton.

Ujian nasional, ya?

“RISYAAAA!!!” jerit seorang pemuda dari jendela terdekat di lantai dua. Aku menoleh dan melihat seorang pemuda dengan rambut hitam pendek dan berantakan menongolkan kepalanya dari sana. “Ada telepon!!!” serunya lagi sebelum kembali masuk ke dalam rumah.

Aku menghela nafas sebelum akhirnya bangkit dan berjalan dengan gontai ke dalam rumah. Di ruang tamu, di sofa warna gading yang empuk dan besar, seorang pria paruh baya sedang santai membaca koran. Kacamata dengan frame setengahnya memantulkan cahaya dari lampu kristal kekuningan di langit-langit. Di sebelahnya, ibuku sedang asik membaca buku resep masakan yang baru saja dibelinya. Laki-laki itu menoleh kearahku sewaktu mendengar suara pintu geser dibuka.

“Telepon,” katanya singkat sambil melipat korannya dan menekan tombol remote.

“Hng,” jawabku sambil terus berjalan.

“Ris,” panggilnya, membuat aku berhenti dan memandang kearahnya.

“Apa?”

Ia tidak langsung menjawab. Ia hanya melihat kearahku dengan penuh makna. Sepertinya ada sesuatu yang ia ingin katakan, hanya saja ia tidak mengerti bagaimana cara mengatakannya.

“Jangan kemaleman,” katanya setelah beberapa saat sebelum kembali ke kegiatannya membaca koran yang lain. Aku berdiri bingung untuk beberapa saat. “Jangan lama-lama neleponnya,” katanya lagi. Mendengar itu, ibuku tertawa kecil.

“Ayahmu ini mengidap daughter complex. Sama seperti kakak-kakakmu yang mengidap sister complex,” jelas ibuku. Ayah langsung mengirimkan pandangan yang berarti ‘jangan-sebut-sebut-penyakit-apa-itu-complex-di-depan-anak-anak’. Sayang, ibuku tidak melihatnya dan terus tertawa-tawa kecil.

“Ngga akan. Paling juga si Teru nanyain peer, ato si Jojo nanyain jadwal pelajaran. Orang-orang ngga penting semua gitu mah, ngga akan lama-lama neleponnya Yah,” kataku sambil melengos pergi dan naik keatas. Disana, tampak dua orang dengan paras hampir mirip satu sama lain sedang sibuk di depan televisi layar datar.

“Tolol lu! Itu offside!” seru yang tadi memanggilku sambil mendorong yang lain. “Udah, sekarang giliran gua!”

“Ngga offside! Liat tuh garisnya! Ngga offside tolol!” seru yang lain. “Lu mah nanti aja, kan tadi lu udah main seharian, sekarang giliran gua.”

“Ngga bisa gitu! Offside mah offside aja! Minggir lu!”

“Apaan sih!”

“Rai-nii, Kak Bian,” kataku pada akhirnya, membuat dua orang itu berhenti memperebutkan stik PS2 yang tampak terlihat sangat menderita dan menoleh kearahku. “Kenapa ngga beli lagi aja sih stiknya? Jadinya bisa maen bareng kan?”

“Ya dia yang harus beli, orang dia yang ngerusakin,” kata Rai-nii, yang tadi memanggilku, sambil menunjuk Kak Bian.

“Yang ngedorong gua waktu itu siapa coba? Kalau aja lu mau sedikit lebih sabar, pasti stiknya ngga akan ketimpa sama badan gua kan?” bantah Kak Bian. Matanya masih fokus pada video lapangan hijau dan orang-orang mini yang sedang dikendalikannya.

“Jadi lu mau nyalahin gua, gitu??” seru Rai-nii. Lalu, dalam sekejap keadaan damai yang hanya sesaat itu kembali berubah menjadi teriakan-teriakan bodoh yang kekanakan. Aku menghela nafas dan memutuskan untuk meninggalkan dua orang aneh di depan TV itu. Tidak jauh dari sana, sebuah sofa berwarna coklat yang agak rendah mengisi salah satu sisi dinding dengan gagah. Di dekatnya, gagang telepon yang sudah diangkat dari tempat seharusnya berada ditaruh begitu saja. Masih memerhatikan tingkah kedua kakakku, aku berbicara dengan orang yang ada diseberang sana.

“Yo,” sapaku pada siapapun yang ada diseberang sana.

“Ris, ini gue, Aki.”

***

Haruaki Arisaka, sebuah nama yang aneh untuk ukuran orang Indonesia. Sebuah nama yang memunculkan ambigu bagi siapapun yang mendengar. Sebuah nama yang dapat membuahkan berbagai macam kombinasi nama panggilan. Sebuah nama yang mengarahkan setiap umat manusia yang mendengarnya kepada suatu jenis gender. Sebuah nama yang selalu berputar-putar di kepalaku sejak pertama mendengar nama asing itu.


***

“Anak-anakku, selamat datang di SMA Pelita Bandung! Mulai hari ini dan sampai kalian lulus, sekolah ini, bangunan kuno ini, adalah rumah kedua kalian!” seru kepala sekolah botak dari atas tangga imitasi berlapis karpet merah dengan semangat. Aku hanya bisa menghela nafas mendengar semua omong kosong beliau mengenai ‘masa remaja adalah masa paling indah’ atau ‘mari kita sama-sama menyongsong masa depan’ dan lainnya. Aku menguap lebar, sebagai akibat kurang tidur karena setumpuk tugas aneh yang dibebankan pada setiap murid baru. Nyaris saja aku tidur sambil berdiri kalau tidak ada orang yang menepuk pundakku.



“Haruaki Arisaka. Kamu?” todongnya tiba-tiba. Butuh beberapa lama untuk mencerna maksudnya, sebelum akhirnya aku bersalaman dengannya dan memperkenalkan diri.

“Amarisya Vardel. Pakai huruf ‘ve’,” kataku sambil membentuk huruf V dengan tanganku yang bebas. Ia mengangguk dan tersenyum lagi.

“Oke, Amarisya Vardel,” katanya sambil menirukan gerakan huruf V yang kubuat. “Mohon bantuannya selama setahun kedepan!”


***


Aku menaruh gagang telepon ditempatnya dan bangkit dari sofa.

“Siapa Ris?” tanya Kak Bian yang sekarang sudah resmi berhenti bermain dan menonton Rai-nii yang sedang autis sendirian.

“Haru.”

“Mau apa dia nelepon malem-malem gini? Ngga tau apa kalo kamu butuh istirahat?” sentak Rai-nii yang masih sibuk dengan stik PS2-nya.

“Dia punya masalah. Tadinya mau nelepon ke handphone, tapi punyaku mati total, lupa di-charge. Jadi aja dia nelepon ke rumah.”

“Cowok kok cerita sama cewek, lemah!” umpat Kak Bian, masih menonton dengan seksama. Aku menghela nafas dan pergi meninggalkan dua orang yang mengidap sister-complex berat itu. Di kamarku yang simpel, dengan dinding berlapis cat putih yang sudah pudar, meja belajar yang berantakan, rak buku yang tidak lagi digunakan sebagaimana mestinya, lemari pakaian yang menjulang tinggi dan besar dengan cermin menempel di salah satu pintunya, buku berserakan di karpet bermotif bunga yang didominasi warna oranye, serta tempat tidur ukuran single dengan seprai hijau muda polos dan selimut warna merah menyala, aku menghela nafas panjang lagi dan melorot ke lantai segera setelah pintu kututup rapat. Segera saja aku teringat apa yang baru saja Aki katakan padaku.

“Otou-san pulang besok. Gua ngga jamin bisa sekolah. Seandainya gua nggak dateng, tolong absenin, bilangin gue sakit.”

***

“Selamat pagi! Bapak absen dulu. Amarisya?” seru pak guru fisika sembari memanggil namaku. Aku buru-buru mengacungkan tangan dan baru menurunkannya setelah beliau memanggil nama orang lain.

“Ris, gua ngga liat Aki, kemana dia?” tanya Sinta, cewek berjilbab yang duduk di depanku.

“Sakit. Kemarin nelepon. Kalo emang ngga dateng ke sekolah, berarti dia beneran tepar di rumah.”

“Gitu?” tanyanya sambil mengerenyitkan alis. Aku mengangguk singkat.

“Haruaki?” panggil Pak Guru.

“Sakit pak! Suratnya nyusul!” jawabku yang langsung disambut oleh sorakan riuh makhluk-makhluk sekitar. Aku hanya bisa menghela nafas. Samar-samar aku bisa mendengar seruan-seruan seperti ‘Jelaslah, istrinya!’ atau ‘Tanyakan segala seuatu soal Haruaki pada Risya’ atau juga, ‘Dasar pasangan bodoh’ dan sebagainya.

“Risya, jangan terlalu banyak menghela nafas. Setiap kali kamu menghela nafas, kamu kehilangan satu kebahagiaan loh!” kata teman sebangku Sinta, Maya. Aku mendengus.

“Kalau kebahagiaan itu emang ngga pernah ada, menghela nafas berkali-kalipun kamu ngga akan merasa kehilangan apa-apa,” jawabku ketus tanpa melihat kearahnya.

“Ah, susah ngomong sama kamu mah. Suka ngga mau dikasih tau,” balasnya sambil berbalik. Sinta hanya menggelengkan kepalanya sebelum akhirnya berbalik juga. Tiba-tiba, handphone-ku bergetar. Pesan singkat.

From : Haruaki
Tou-san udh smpe. Wsh me luck.
-aki-


Aku membaca pesan itu berkali-kali sebelum akhirnya menaruh benda itu di kolong meja dan kembali fokus pada pelajaran. Namun, tidak peduli sekeras apapun aku berusaha untuk menyerap semua angka-angka abstrak yang ada di papan tulis, pikiranku tertuju pada hiasan kupu-kupu berwarna hitam dari kulit dengan manik-manik merah muda pada sayapnya.


***


“Buat hasta karya sama temen sebangku kalian. Jangan lupa alasan kenapa kalian memilih untuk membuat karya itu. Dikumpulkan besok,” kata senior kelas dua yang bertugas membimbing kami. Pernyataan itu langsung disambut oleh reaksi keras dari teman sekelas. Sementara yang lain sibuk melakukan protes, aku justru bingung harus berkata apa.Ttiba-tiba saja, dia mencolek pundakku.

“Mau bikin apa nih?” tanyanya dengan paras bingung.

“Apa ya Ki? Yang jelas harus gampang dan bermakna. Biar enak di kita juga,” jawabku. Ia mengangguk-anggukan kepalanya dan merengut, berpikir.

“Oh! Itu aja!” serunya tiba-tiba.



***



“Ris! Risya!” seru Sinta sambil mengguncang tubuhku, membuatku tersadar.

“Hah? Apa?” tanyaku kaget sambil mengerjapkan mataku. Sinta dan Maya menggelengkan kepala mereka.

“Ris, inget, minggu depan UN. Masih sempet aja lu melamun pas pelajaran fisika. Tadi Pak Mario negur loh,” kata Sinta.

“Gara-gara kamu nggak jawab apa-apa, cuma bengong aja kayak kesurupan, anak-anak langsung heboh,” lanjut Maya. “Katanya kamu kangen sama Haru sampe segitunya. Gitu.”

“Kangen sama—

Kalimatku terputus begitu saja karena tiba-tiba handphone-ku bergetar lagi. Pesan singkat lagi, dari pengirim yang sama.

From : Haruaki
Gw kangen.
-aki-

Aku tidak bisa menahan senyum begitu melihat isi pesan yang sangat amat singkat sekali ini. Hal ini memicu keingintahuan Sinta yang memang besar, sehingga tiba-tiba ia sudah menduduki kursi kosong di sebelahku dan ikut membaca pesan itu.

“Gue kangen, aki. May, denger isi sms Haru! Gue kangen!” seru Sinta dengan suara keras. Kontan saja hal itu disambut dengan koor ‘cieee’ yang membahana dari semua anak. Sinta memukul-mukul pundakku sambil tertawa sementara Maya cekikikan ngga jelas.

“Ya ampun, padahal baru aja kita ngomongin soal Risya yang kangen sama Haru, langsung aja dia ngirim sms gini. Ini kekuatan cinta!” kata Maya seenaknya.

“Apaan sih!” sentakku kesal.

“Lugas, jelas dan aktual. Gue kangen! Hahahahaha!” jawab Sinta sambil terus tertawa-tawa mengerikan di sebelah. Aku bangkit dan berjalan keluar kelas, meninggalkan orang-orang gila yang sedang menyanyikan koor yang lain lagi.

SMA Pelita Bandung adalah sebuah SMA kuno yang sangat besar. Terdapat lebih dari lima puluh tujuh ruangan kelas untuk tiga angkatan, lapangan olahraga, taman, kantin dan berbagai fasilitas lain. Bangunan ini sendiri adalah bangunan kuno, peninggalan zaman penjajahan. Meski begitu, aura imperialismenya tidak terasa sama sekali.

Hari ini hujan turun dengan lebat, disertai petir dan kilat yang menyambar tanpa ampun dengan diiringi suara ledakan yang memekakkan telinga. Aku memandangi butiran-butiran hujan yang turun tanpa henti, seakan hendak membanjiri bumi ini. Suasana seperti ini membuatku mengantuk, sungguh! Ingin rasanya aku bergelung di dalam selimut hangat di kamarku yang berantakan itu. Aku menghela nafas lagi.

“Ris, ngapain kamu di luar?” tanya seseorang. Aku menoleh dan mendapati seorang pemuda tampan dengan wajah polos serta postur tubuh yang tinggi dan tegap sedang menatapku kebingungan.

“Ribut. Berisik,” jawabku ketus. Dia hanya mendengus kecil dan tersenyum.

“Your style,” katanya lagi, masih tertawa. “I guess that part of you’ll never change.”

“Berisik Gin. Lu sendiri ngapain diluar?”

“Gua dikeluarin,” katanya santai. “Lagi ngelempar kertas, terus kepergok si Ibu. Jadi aja diusir keluar,” katanya lagi sambil tersenyum kuda.

“Pelajaran apa emang?” tanyak penasaran. Dia tidak menjawab, hanya tersenyum lebar.

“Ngga penting! Udah ah, temenin gue ke kantin!” serunya sambil menarik lenganku dan menyeret ku kearah kantin. Samar namun pasti aku bisa mendengar suara jerit histeris beberapa siswi dari arah kelasku.


to be continued

No comments:

Post a Comment

celetukan