“Lontong Kari.”
“Sama lontong kari satu Bang! Duduknya disana!” serunya lagi sambil menunjuk ke salah satu deretan kursi dan kemudian menyeretku ke kursi yang dimaksud. “Akhirnya lu jadi ya mabalnya,” katanya santai sambil cengengesan.
“Berkat Anda,” kataku sambil duduk dan membetulkan letak syal abu-abu yang sejak tadi melingkar di leherku. Gin hanya tersenyum dan memamerkan giginya yang rapi.
“Hehe, lu harusnya berterima kasih sama gue, yang sudah membebaskan dirimu dari neraka sesaat itu.”
“Te-ri-ma-ka-sih,” ejaku. Gin hanya tersenyum simpul dan mengerucutkan bibirnya. Tampak lucu.
“Well, gimana kabar? Udah lama ngga ngobrol berdua gini aja. Abang-abangmu masih mengidap sister-complex?”
“Kurang lebih begitu. Makin parah. Kemarin Haru nelepon aja mereka maki-maki,” kataku sambil memutar-mutar handphone tipis merah milikku.
“Dimaki gimana?” tanyanya. Entah mengapa nada suaranya jadi berubah. Ekspresinya juga jadi keras begitu ia mendengar nama Haru.
“Dikatain lemah. Kak Bian yang bilang. Rai-nii mah ngga bilang apa-apa.”
“Lu masih sama dia? Sama si cowok lemah itu?” tanya Gin. Aku menatap matanya dan entah kenapa, aku merasa bisa melihat kilat kemarahan dari matanya yang berwarna coklat susu.
“Masih gimana?” tanyaku bingung.
“Lu jalan sama dia kan? Lu ceweknya kan?” tanyanya lagi. Nada suaranya jadi lebih tinggi.
“Gue ceweknya apa urusan lu? Emangnya kenapa kalo emang gue masih jalan sama dia?” tanyaku dengan nada yang tidak kalah tinggi. “Cemburu?”
“Ngapain cemburu? Gue cuma kasian aja sama lu, mau-maunya jadi cewek orang aneh kayak begitu,” katanya asal.
BRAK!!!!
Aku menggebrak meja, membuat semua orang yang ada di kantin menoleh kearahku. Gin sendiri tampak kaget.
“Lu kalo ngomong mikir! Kayak yang lu ngga aneh aja! Siapa lu sampe bisa nge-judge orang aneh? Siapa lu sampe kasian sama gue? Jaga mulut lo!” seruku. Pelan-pelan air mataku tumpah. “Haru jauh lebih baik daripada cowok sialan kayak lu!” seruku sambil berlari keluar kantin.
“RISYA!!” seru Gin sambil ikut berdiri. Meski mataku sedang bocor dan aku sedang berlari, aku tahu dia mengejarku di belakang. Aku mempercepat lariku.
“RISYA! TUNGGU!” serunya lagi. “RISYA!!!”
Aku terus berlari tanpa arah seperti orang kesetanan. Sesampainya di depan kelasku, tiba-tiba tanganku ditarik sedemikian rupa. Aku menoleh kearah pelaku sialan itu dan mendapati Gin berdiri disana sambil memegang lenganku. Nafasnya tersengal-sengal.
“Lepas, gue mau masuk kelas,” kataku seraya berusaha melepas cengkeramannya.
“Denger dulu Ris,” bujuknya.
“Ngga, lepas.”
“Ris, gue punya alesan yang jelas—
“GUE GA PEDULI! LEPAS!” jeritku pada akhirnya. Gin melepas tanganku. Ekspresinya tampak kaget sekali. Aku terisak karena lelah sehabis berlari dan karena menangis. Kepalaku jadi pusing.
“Ris, sori, gue ngga maksud buat—
“Lu,, diem,, aja,, Haru,, ngga,, kayak—
“Ris?” potong Gin bingung. “Kamu kenapa? Lu pucet abis,” katanya sambil memeriksa mukaku. Ia menyingkirkan poni datar yang nyaris menutupi mataku. Aku menyingkirkan tangannya dari wajahku. Nafasku rasanya berat dan semuanya jadi buram.
“Ha,,ru,,ngga,,gitu,” kataku terengah-engah. Kakiku tiba-tiba lemas bukan main. Aku bersandar di pintu kelas. Kepalaku seperti dipukuli oleh palu berukuran ekstra besar dengan berat satu ton. “Aku,,ngga—
“RISYA!!!!!”
***
“Hah? Kupu-kupu?” tanyaku bingung. “Kupu-kupu gimana? Apa maknanya? Gimana bikinnya?” todongku.
“Yapyap, kupu-kupu. Kupu-kupu yang simpel aja, dari bahan kulit warna item gitu, ato pake bahan beludru. Lucu kan?” serunya semangat. Aku menggaruk kepala.
“Yaa, lucu mah, lucu. Bikin motifnya juga gampang. Ngejaitnya juga bisalah. Tapi kulitnya darimana dapetnya?”
“Neechan punya kok!!”
“Nee apa??” tanyaku bingung.
“Neechan, kakak cewekku. Dia designer gitu. Kemarin waktu ngobrak-ngabrik kamarnya aku liat segulung bahan kulit warna item sama bahan beludru gitu. Aku udah minta sih,” katanya sambil tersenyum lebar.
“Oh, ya udah. Tapi maknanya apa??” tanyaku ngotot. Dia tidak menjawab, malahan senyum-senyum sendiri seperti orang mesum. Dia lalu berdiri dan berjalan mendekati jendela.
“Kamu tau? Kupu-kupu itu cuma idup tiga hari,” katanya sambil menerawang ke arah lapangan basket dimana para senior sedang menggila.
“Aku taunya kupu-kupu dewasa emang cepet mati. Emang kenapa?”
“Mereka hidup cuma buat bertelur sebanyak-banyaknya, terus mati.”
“Terus?” tanyaku sambil memiringkan kepalaku sedikit. Ia berbalik dan tersenyum manis.
“Itu maknanya! Kita SMU cuma tiga tahun kan? Selama tiga tahun ini, kita harus banyak melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup kita, kayak kupu-kupu yang hidup tiga hari cuma buat bertelur demi kelangsungan hidup spesiesnya. Kupu-kupu itu bisa jadi pengingat betapa singkatnya masa SMU kita, jadi kita bisa lebih semangat!” jelasnya panjang lebar dengan semangat. “Gimana???”
Aku mengerucutkan bibirku dan berpikir. Tak lama aku mengangguk setuju dan berdiri lalu mengambil tasku dan ngeloyor pergi. Hari ini siswa kelas sepuluh hanya diberi tugas, jadi pulangnya lebih cepat.
“Hei, mau kemana??” serunya panik. Aku berbalik.
“Kerumahmu. Di rumahku ngga ada mesin jahit dan bahan kulitnya juga ada di rumah kamu kan?” jawabku. Mendengar jawabanku, ia tersenyum sangat lebar. Buru-buru ia mengambil tasnya dan berlari menghampiriku. Tiba-tiba saja ia menggenggam tanganku.
“Arigatou Vardel-chan!!!” serunya sambil menarikku menuju gerbang sekolah.
***
Aku mendengar suara-suara gaduh disekelilingku. Perlahan aku membuka mataku dan mendapati wajah Gin tepat ada di depan, lebih tepatnya, di atasku. Aku bisa merasakan lengannya di punggungku dan dinginnya keramik di pantatku.
“Ris? Ris, lu ngga apa?” tanya Gin yang tengah mendekapku. Samar aku bisa menghirup wangi laut dari tubuhnya. Aku mengerjapkan mata beberapa kali.
“Uh huh,” jawabku sambil berusaha bangkit. Sayangnya, aku tidak sanggup bahkan untuk sekedar bangkit. Aku oleng dan jatuh ke pelukannya lagi. Ia dengan sigap menangkapku. “Sori,” ucapku pelan. Ia menggeleng.
“Risya, kamu sakit?” tanya Pak Burhan, guru kimia, yang berdiri di samping Gin.
“Ngga tau Pak. Tiba-tiba pusing banget,” ujarku pelan sambil memegang pelipisku yang sedang berdenyut sangat hebat.
“Sebaiknya kamu pulang saja,” usul Pak Burhan. Aku hanya tersenyum miris.
“Saya bawa kendaraan, Pak. Kalau lagi pusing gini nyetir yang ada besok saya tinggal nama,” kataku sambil sedikit tertawa.
“Hush! Jangan ngomong begitu!” seru beliau sementara yang siswa lain yang mengerubungiku hanya tertawa mendengar omonganku. “Ya sudah, kamu istirahat saja di UKS. Siapa tahu setelah itu kamu jadi lebih sehat dan siap mengebut.”
“Siap Pak!” kataku sambil berusaha bangkit lagi dan, jatuh lagi. Aku menghela nafas di pelukan Gin.
“Gue bantu berdiri ya?” tawarnya. Aku mengangguk lemah. Ia melingkarkan lengan kananku ke pundaknya yang bidang dan lebar. Tangan kirinya menyokong pinggangku. “Siap?” tanyanya sambil memasang posisi siap berdiri. Tiba-tiba perutku bergejolak dan melilit, seperti ada sesuatu yang mendesak semua isinya ke mulut. Aku bisa merasakan rasa asam yang sangat dilidahku.
“Pelan-pelan ya. Gue udah siap muntah kapanpun,” kataku pelan. Ia mengangguk.
“Oke, satu, dua—
“RISYA!!!!!” seru seseorang tiba-tiba. Aku menoleh ke arah sumber suara. Seorang pemuda yang berantakan dengan kostum kimono hijau muda bermotif bambu hijau yang terlihat sangat pas di kulitnya yang putih. Rambutnya berantakan dan mencuat kesana kemari. Matanya yang berwarna coklat gelap terlihat khawatir dibalik kacamata berbingkai setengah yang dipakainya. Tangan kanannya memegang ponsel dan dompet, sementara tangan yang lain memegang kunci mobil. Obi hitam yang dipakainya sudah tidak jelas bentuknya, hanya diikat sembarangan. Nafasnya terengah-engah.
“Ha,,ru?” tanyaku pelan. Ia lalu menghampiriku dan berjongkok di dekatku. Aku mengulurkan tanganku yang bebas dan ia langsung menggenggamnya. “Kena,,pa?”
“Sinta telepon, katanya kamu pingsan,” ujarnya lemah. Ia membetulkan letak kacamatanya. “Kenapa? Sakit?” tanyanya sambil mempererat genggamannya. Aku menggeleng.
“Heh, lu misi napa? Gua mau bawa dia ke UKS,” bentak Gin galak tiba-tiba. Haru melihat kearahnya.
“Gue aja,” katanya sambil menaruh tangannya di punggung dan kakiku, lalu berdiri dan menggendongku, sambil sedikit mendorong Gin dengan cukup keras. Kepalaku terkulai ke bahunya yang tegap. Wangi sabun masih kental tercium dari tubuhnya. Ia lalu mengecup keningku sesaat sebelum menoleh kearah kerumunan yang mulai histeris. “Ter, barang-barang gue dong,” katanya sambil mengedikkan kepalanya ke lantai. Teru, cowok jangkung dengan sweater merah burgundinya langsung jongkok kemudian bangkit. Aku mengulurkan tangan untuk mengambil barang-barang itu.
“Sini, Ter,” kataku. Teru menyerahkan barang-barang itu dan Haru bergerak. Ia berjalan pelan agar tidak membuatku goyang-goyang. Selama perjalanan ke UKS, aku bisa merasakan bibir Haru yang kering di kepalaku. Ia menggumamkan sesuatu yang tidak jelas, tapi membuatku tenang. Perlahan aku memejamkan mata dan menarik nafas panjang.
***
Setelah sukses tersesat di Kota Bandung yang sempit ini karena orang bodoh yang mengajakku kerumahnya ini baru pertama kali naik angkot, kami sampai dirumahnya. Kesan pertamaku adalah, ‘waw’.
Dari luar, rumah itu terlihat simpel, dengan arsitektur ala Jepang yang kental. Taman yang terdiri dari rumput-rumput yang diurus dengan rapi sehingga terlihat seperti karpet, semak-semak dengan bunga-bunga kecil, pohon nangka yang besar dan menjulang serta rimbun –dengan anggrek berwarna ungu serta putih menempel di batangnya cukup membuat orang awam sepertiku menganga. Ia hanya tertawa melihat reaksiku.
“Ini belum seberapa! Masuk yuk!” ajaknya.
Benar saja, isi dari rumah itu jauh lebih mengejutkan. Suasana Jepang sungguh sangat terasa didalam rumah itu. Elemen yang paling dominan adalah kayu. Benar-benar seperti ada di sebuah kastil di Jepang sana yang dimodifikasi sedemikian hingga mengikuti kemajuan zaman. Di ruang tamu yang berlantaikan keramik berwarna gading, satu set sofa yang terlihat empuk dengan warna broken white berjajar melingkar di depan sebuah meja kayu dan TV layar datar.
Di satu sisi dinding, terdapat sebuah meja kayu dengan laci-laci kecil. Di atasnya terdapat sebuah tombak dengan gagang berwarna hitam yang mengkilat dan bentuk pisau yang seperti bulan sabit, melengkung indah dan berbahaya. Di sisi yang lain, terdapat foto yang besar. Aku menghampiri foto itu dan melihat dengan seksama. Semua orang di dalam gambar itu memakai pakaian adat.
“Itu foto waktu Niichan nikah,” jelasnya. Aku mengerenyitkan keningku waktu mendengar istilah aneh lagi. Ia tertawa kecil. “Abangku,” katanya sambil menunjuk ke gambar seorang pemuda yang berada di tengah-tengah. Aku mengangguk.
“Kamu beneran orang Jepang?” tanyaku.
“Ngga juga sih. Yang orang sana cuma Tou-san, ayahku. Beliau juga ngga seratus persen orang sana sih, kakekku orang Jerman. Ibuku sendiri blasteran Indonesia-Jamaika. Tapi tampaknya yang dominan tetep darah Asia-nya,” jelasnya. Aku mengangguk.
“Tapi kenapa ngga ada yang sipit?” tanyaku penasaran. “Ayahmu sipit tuh,” kataku sambil menunjuk ke arah gambar seorang pria paruh baya dengan tampang agak sangar. Dia tertawa.
“Hahaha. Kalo mata, semuanya dapet dari Ibu. Makanya ngga ada yang sipit. Ayo ke atas, kamar Neechan disana,” katanya seraya berjalan menjauhi aku yang masih menatap foto itu dengan seksama. Wajah ayahnya tampak tidak bersahabat, meski dalam foto sekalipun. Meski tangannya merangkul pundak Haru, aku merasa bisa melihat aura tidak bersahabat memancar darinya. “Risya!” panggil Haru dari arah tangga. Aku segera mengikutinya.
Di lantai atas, ada seorang gadis sedang berbicara dengan bahasa asing. Rambutnya yang hitam legam dan lurus tampak bergoyang-goyang membentuk gelombang. Ia berjalan bolak-balik sambil setengah membentak orang di seberang sana. Setelah beberapa menit, ia memutus hubungan teleponnya dan berbalik ke arah kami. Begitu melihat kami, ia tersenyum ramah dan menghampiri kami.
“Tadaima, Ikkun,” katanya pada Haru. Suaranya bening dan seperti anak-anak.
“Okaeri, Neechan,” balas Haru. “Marah-marah melulu. Aw!” serunya ketika kakaknya itu memukulnya dipantat.
“Ikkun, jangan seenaknya. Tapi kamu hebat juga ya, baru masuk udah punya pacar,” kata kakakny sambil melihat kearahku. Ia lalu mengulurkan tangannya. “Rei Arisaka.”
Aku mengerenyit sedikit saat mendengar namanya yang agak aneh. “Amarisya Vardel,” kataku setelah beberapa lama sambil mejabat tangannya. Ia lalu tersenyum.
“Yah, aku ada kerjaan. Bahannya di kamar, di atas kasur. Duluan,” katanya sambil berjalan turun. Baru beberapa anak tangga, ia berbalik dan tersenyum jahil. “Jangan diapa-apain dulu ya,” katanya. Haru melepas kaus kakinya dan melemparkan benda itu pada kakaknya yang sedang tertawa-tawa di bawah.
“Gila!!” umpatnya kesal. “Dasar tante-tante sialan tukang ngambil uang dari celengan orang! Dasar cewek jalang!!!!!” serunya lagi.
“Ki? Kenapa ngamuk gitu?” tanyaku. Entah kenapa rasanya ada yang berbeda. Ia lalu berbalik menghadapku. Tatapannya berbeda dengan Haru yang aku kenal selama tiga hari ini. Tiba-tiba, ia mengulurkan tangannya.
“Natsu. Salam kenal.”
***
Aku membuka mataku perlahan. Yang pertama kali kulihat adalah langit-langit kusam. Aku menoleh ke kiri dan melihat Haru sedang duduk di kursi. Ia segera menghampiriku begitu melihat aku sadar.
“Gimana?” tanyanya sambil mengelus kepalaku. Aku tersenyum lemah.
“Lumayan. Kayaknya aku udah sanggup nyetir,” kataku sambil berusaha bangun. Kepalaku tidak lagi berdenyut seperti tadi tapi badanku masih lemas.
“Jangan dipaksain,” katanya lagi sambil duduk di pinggir tempat tidur. Wajahnya tampak khawatir dan lelah. Aku menyadari ada sesuatu yang janggal dengannya.
“Kenapa kamu pake kimono?” tanyaku. Ia tertawa.
“Tadi nyambut Tou-san. Yah, taulah gimana ribetnya,” katanya.
“Nyambut?? Terus ngapain kamu disini??”
“Kan udah dibilang, tadi Sinta nelpon. Jadi aku langsung cabut.”
“Terus??”
“Ya kutinggal aja tuh upacara adat yang bikin kesemutan. Hehe,” katanya sambil tertawa-tawa.
“Pulang,” kataku pelan.
“Hah?”
“PULANG!! Gimana kalo kamu diapa-apain?? Mestinya kamu mikir dulu! Udah sana pulang!!!” seruku sambil mendorong tubuhnya. Ia lalu menggenggam tanganku kencang. Aku menatap matanya. Ia balas menatapku tajam.
“Diem! Sekarang tidur!” serunya sambil mendorongku ke tempat tidur. “Ngga usah banyak omong! Orang penyakitan diem aja!!” serunya lagi. Aku tidak percaya dengan apa yang kudengar. “Ngapain liat-liat? Lupa ya?” tanyanya lagi lalu tersenyum dan mengacak rambutku yang sudah berantakan.
“Apaan sih Ru!” seruku sambil menyingkirkan tangannya. Ia malah tertawa histeris.
“I’m not him” katanya. Aku mengerenyit. Ia lalu berdiri dan mengulurkan tangannya.
“Apaan? Kenapa bisa kamu bukan—
“Natsu,” katanya memotong kalimatku.
No comments:
Post a Comment
celetukan